RELATION

Membekukan Waktu, Menghayati Ruang

Manusia hidup, bergerak, berfikir dan menyatakan eksistensinya di dalam ruang. Melalui ruang, seluruh potensi kemanusiaan dan berbagai pengalaman kemanusiaan dibentuk. Di dalam ruang pula, manusia terhubung dengan sesama manusia, benda-benda, serta objek-objek lainnya. Sehingga ruang dan manusia tidak dapat dipisahkan, baik secara fisik, psikologis, ataupun dimensional. Bahkan setelah manusia mati pun bisa jadi akan selalu merasa di dalam ruang, meski pada tataran dimensional yang berbeda.

Dalam perspektif historis, ruang dimaknai sebagai dimensi spasial yang tidak bisa dilepaskan dari dimensi waktu (temporal).  Seluruh pengalaman manusia akan selalu berlangsung di dalam konteks ruang dan waktu. Henri Bergson (2001) mengatakan bahwa waktu merupakan aliran atau jalan lintasan yang di dalamnya persitiwa-peristiwa itu berlangsung tanpa jeda, istirahat atau berhenti. Artinya waktu terus berjalan secara kronologis dan melahirkan masa lalu, retensi, serta memori. Lalu memunculkan masa sekarang, menumbuhkan kesadaran dan persepsi. Hingga kemudian memproyeksikan masa depan bersama dengan seperangkat ekspektasi dan visi.

Keberadaan ruang sendiri tentu saja tidak  bisa dilepaskan dari makna-makna sosio kultural yang ada. Dalam perspektif Marxian, ruang dapat dilihat sebagai arena pertarungan ideologi yang tidak pernah selesai diperebutkan. Kepentingan kapitalistik menempatkan ruang sebagai sarana untuk memproduksi sekaligus  mereproduksi pengetahuan yang hegemonik secara terus menerus.  Sementara dalam perspektif gender tradisional, ruang terbagi ke dalam ruang domestik dan ruang publik. Ruang domestik dimaknai sebagai feminin, sedangkan ruang publik ditandai sebagai maskulin. Dan pembagian semacam ini seringkali melahirkan relasi yang timpang, karena eksistensi manusia di ruang publik selalu dianggap lebih superior ketimbang  di ruang domestik. Sehingga narasi-narasi yang berasal dari ruang domestik seringkali terpinggirkan.

Dengan meminjam  perspektif tersebut, pameran ini dihadirkan. Puluhan karya menyajikan beragam narasi fotografi tentang relasi manusia dengan ruang domestik: rumah, kamar, kontrakan, dapur, gudang, ruang tamu, halaman depan, dsb. Melalui medium fotografi, para partisipan pameran mencoba menghayati kembali bagaimana hubungan mereka dengan sesama manusia, benda-benda, dan objek-objek lain yang berlangsung di area ruang domestik. Berbagai pendekatan estetik juga dipilih untuk menyampaikan narasi masing-masing, hingga memunculkan beragam konteks dan ragam emosi visual.

Karya Muhammad Rohman memperlihatkan bagaimana kehilangan sosok ibu di dalam rumah. Karya Fauzan Azhimi bernarasi tentang sosok ayah yang “dirumahkan” akibat pandemi, sehingga dapat memiliki waktu yang cukup intens untuk terlibat dengan tugas domestik. Karya Feynardi Halim bercerita tentang proses adaptasi selama pandemi dan hal-hal yang ia rindukan selama berada di rumah. Lalu  M.Ardiansyah yang di dalam karyanya merefleksikan perasaan terasing dan perasaan takut kehilangan saat berada di rumah. Kemudian karya Nadya Arlena bercerita tentang kamarnya sebagai bagian dari identitas diri yang utuh. Begitu juga karya Iqma Hanin yang memperlihatkan kamar sebagai refleksi dari identitas penghuninya.

Karya lainnya dari Muhamad Dhafa yang menceritakan ruang tamu serta relasinya dengan foto-foto keluarga dan para penghuninya. Sehingga  membentuk  sejarah keluarga dan melahirkan berbagai macam perbincangan. Lalu karya Safri dan Laudya Hasana Zahra yang menyajikan cerita-cerita keseharian dari rumah. Kemudian Rafi Zuhdi yang mengangkat narasi tentang keterikatan lansia dengan rumah. Selanjutnya Rhoby Ajadeta yang menceritakan kehidupan sehari-hari di area kontrakan komunitas orang Tegal yang tinggal di Bandung dan berprofesi sebagai pedagang nasi goreng keliling. Lalu Syifa Milla dan Ariz Hilmi menceritakan bagaimana relasi manusia dengan benda-benda di ruang domestik yang memiliki keterikatan sangat kuat dengan pemiliknya.

***

Di dalam citra fotografi sendiri, ruang direpresentasikan dalam bentuk ilusi tiga dimensi. Sementara waktu dibekukan menjadi fragmen-fragmen yang tidak utuh lagi. Sehingga realitas fotografi tentu saja tidak lagi bisa disamakan dengan realitas yang sebenarnya. Namun justru inilah kekuatan fotografi yang menurut Walter Benjamin dikatakan dapat mengakomodir “ketidaksadaran optis”  kita. Penglihatan manusia yang seringkali abai pada hal-hal yang terjadi di hadapan matanya mampu tersadarkan oleh kebekuan foto.

Melalui foto, kita bukan hanya sekedar melihat, tetapi sedang merefleksikan ulang dan membangun berbagai kesadaran baru atas sesuatu. Oleh karena itu, pameran ini mengajak kita untuk menghayati ruang domestik, memaknai ulang bagaimana hubungan kita dengan orang-orang, benda-benda, dan memori-memori yang saling berjalin kelindan.  Termasuk juga keterhubungan antara narasi domestik di dalam karya foto dengan ruang pamer yang berlangsung di tengah pasar, yang sejatinya merupakan  ruang publik/ruang komunal, tempat berlangsungnya berbagai interaksi sosial dan aktivitas ekonomi.

Categories:

Tags:

No responses yet

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *